BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Korupsi adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat
yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak
ada sama sekali.
Korupsi memiliki berbagai efek
penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects) terhadap
orang miskin, dengan dua dampak yang saling bertaut satu sama lain. Pertama,
dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya harga
jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan juga sering
terjadinya pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air,
kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin
yakni pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan
kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang
miskin, melalui pembatasan pembangunan.
2.
Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Korupsi?
b. Apa saja faktor penyebab korupsi?
c. Apa saja dampak masif korupsi?
d. Apa nilai dan prinsip anti korupsi?
e. Apa saja upaya pemberantasan korupsi?
f. Apa gerakan kerjasama dan instrumen internasional pencegahan
korupsi?
g. Apa saja tindak
pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
h. Apa peran dan keterlibatan Mahasiswa dalam gerakan anti
korupsi?
3.
Tujuan Penuilisan
Makalah ini saya buat mempunyai
2 tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
·
Tujuan Umum : Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Anti Korupsi.
·
Tujuan Khusus :agar para pembaca mengerti tentang korupsi
dari sejarah korupsi, jenis-jenis korupsi, dampak korupsi, hukum pidana
korupsi, dll.
Saya harap korupsi di Negeri Indonesia
segera musnah agar Rakyat dan Negara sejahtera.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Korupsi
korupsi
atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan
oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak
ada sama sekali.
Korupsi juga memiliki sejarah, sejarah korupsipun ada bermacam-macam sesuai
dengan perubahan zaman dan era.
Era Sebelum Indonesia
Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin
berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari. Perlawanan rakyat
terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan
kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di
Indonesia.
Era Pasca Kemerdekaan
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah
masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas
korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat
mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal
16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak
mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik
berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk
membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama
kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih
banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi”
yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya
sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan
dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Adapun bentuk-bentuk korupsi
diantaranya:
-
Transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan.
-
Menggelapkan dan manipulasi barang milik lembaga, BUMN/BUMD,
swastanisasi anggaran pemerintah.
-
Penerimaan pegawai berdasarkan jual beli barang.
-
Jual beli jabatan, promosi nepotisme dan suap promosi.
-
Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan
menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan
pajak, jual beli besaran pajak yang harus dikenali, dan menyalahgunakan
keuangan.
-
Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan
memperdaya serta memeras.
-
Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara
tidak sah dan menjebak.
-
Jual beli tuntutan hukuman, vonis, dan surat keputusan.
-
Tidak menjalankan tugas, desersi.
-
Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak
sah dan meminta komisi.
-
Jual beli objek pemeriksaan, menjual temuan, memperhalus dan
mengaburkan temuan.
-
Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk
kepentingan pribadi dan membuat laporan palsu.
-
Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik
pemerintah, dan surat izin pemerintah.
-
Manipulasi peraturan, memunjamkan uang negara secara
pribadi.
-
Menghindari pajak, meraih laba secara berlebihan.
-
Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik
kepentingan.
-
Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan,
perjalanan yang tidak pada tempatnya.
-
Penempatan uang pemerintah kepada Bank tertentu yang berani
memberikan bujed yang tidak sesuai yang sebenarnya.
Bentuk
Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan tindakan
yang sangat tercela. selain merugikan negara, tindakan korupsi juga dapat
merugikan pelaku korupsi itu sendiri jika terbukti perbuatannya diketahui oleh
badan penindak korupsi yang berwenang.
Di Indonesia, klasifikasi tindakan korupsi secara garis besar dapat di golongkan dalam beberapa macam bentuk. khusus untuk instansi yang melakukan administrasi penerimaan (revenue administration) yang meliputi instansi pajak dan bea cukai, tidak termasuk pemda dan pengelola penerimaan pnbp, tindakan korupsi dapat dibagikan menjadi beberapa jenis, antara lain:
Di Indonesia, klasifikasi tindakan korupsi secara garis besar dapat di golongkan dalam beberapa macam bentuk. khusus untuk instansi yang melakukan administrasi penerimaan (revenue administration) yang meliputi instansi pajak dan bea cukai, tidak termasuk pemda dan pengelola penerimaan pnbp, tindakan korupsi dapat dibagikan menjadi beberapa jenis, antara lain:
-
Korupsi
kecil-kecilan (petty corruption) dan Korupsi
besar-besaran (grand corruption)
Korupsi
kecil-kecilan merupakan bentuk korupsi sehari-hari dalam pelaksanaan suatu
kebijakan pemerintah. korupsi ini biasanya cenderung terjadi saat petugas
bertemu langsung dengan masyarakat.
Korupsi ini
disebut juga dengan nama korupsi rutin (routine corruption) atau korupsi untuk
bertahan hidup (survival corruption). korupsi kecil-kecilan umumnya dijalankan
oleh para pejabat junior dan pejabat tingkat bawah sebagai pelaksana
fungsional.
Contohnya
adalah pungutan untuk mempercepat proses pencairan dana yang terjadi di kppn.
Sedangkan korupsi besar-besaran umumnya dijalankan oleh pejabat level tinggi, karena korupsi jenis ini melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. korupsi ini terjadi saat pembuatan, perubahan, atau pengecualian dari peraturan. Contohnya adalah pemberian pembebasan pajak bagi perusahaan besar.
Sedangkan korupsi besar-besaran umumnya dijalankan oleh pejabat level tinggi, karena korupsi jenis ini melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. korupsi ini terjadi saat pembuatan, perubahan, atau pengecualian dari peraturan. Contohnya adalah pemberian pembebasan pajak bagi perusahaan besar.
-
Penyuapan
(bribery)
Bentuk
penyuapan yang biasanya dilakukan dalam birokrasi pemerintahan di indonesia
khususnya di bidang atau instansi yang mengadministrasikan penerimaan negara
(revenue administration) dapat dibagi menjadi empat, antara lain:
a)
Pembayaran
untuk menunda atau mengurangi kewajiban bayar pajak dan cukai.
b)
Pembayaran
untuk meyakinkan petugas agar tutup mata terhadap kegiatan ilegal.
c)
Pembayaran
kembali (kick back) setelah mendapatkan pembebasan pajak, agar di masa
mendatang mendapat perlakuan yang lebih ringan daripada administrasi normal.
d)
Pembayaran
untuk meyakinkan atau memperlancar proses penerbitan ijin (license) dan
pembebasan (clearance).
-
Penyalahgunaan
/ Penyelewengan ( misappropriation)
Penyalahgunaan
/ Penyelewengan dapat terjadi bila pengendalian
administrasi (check and balances) dan pemeriksaan serta supervisi transaksi
keuangan tidak berjalan dengan baik. Contoh dari
korupsi jenis ini adalah pemalsuan catatan, klasifikasi barang yang salah,
serta kecurangan (fraud).
-
Penggelapan
(embezzlement)
Korupsi ini
adalah dengan menggelapkan atau mencuri uang negara yang dikumpulkan,
menyisakan sedikit atau tidak sama sekali.
-
Pemerasan
(extortion)
Pemerasan ini
terjadi ketika masyarakat tidak mengetahui tentang peraturan yang berlaku, dan
dari celah inilah para petugas melakukan pemerasan dengan menakut-nakuti
masyarakat untuk membayar lebih mahal daripada yang semestinya.
-
Perlindungan
(patronage)
Perlindungan
dilakukan termasuk dalam hal pemilihan, mutasi, atau promosi staf berdasarkan
suku, kinship, dan hubungan sosial lainnya tanpa mempertimbangkan prestasi dan
kemampuan dari seseorang tersebut.
2.
Faktor- faktor penyebab korupsi
Ada
3 faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, diantaranya:
-
Faktor Manusia, menurut pandangan ini sebab utama terjadinya
korupsi adalah faktor-faktor personal aparat. Seperti mentalitas aparat yg
buruk, Kemampuan kerja aparat yg kurang memadai, kemiskinan keluarga, dan
faktor personal lainnya.
-
Faktor Lingkungan, Sebab terjadinya korupsi adalah faktor
lingkungan yang kurang memadai, meliputi lingkungan politik, budaya, dan
manajemen birokrasi.
-
Gabunganga Faktor Manusia dan Lingkungan.
Ada pula
faktor lainnya, yaitu :
- Penegakan hukum tidak konsisten,
penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu
berubah setiap berganti pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng,
takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
- Langkanya lingkungan yang antikorup,
sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
- Rendahnya pendapatan
penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi
kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk
berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
- Kemiskinan, keserakahan, masyarakat
kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka
yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
- Budaya memberi upeti, imbalan jasa
dan hadiah.
- Konsekuensi bila ditangkap lebih
rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum
sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
- Budaya permisif/serba membolehkan,
tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang
lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
- Gagalnya pendidikan agama dan
etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi
pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang
memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang
lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya,
sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para
pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang
dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang
sangat buruk
Faktor internal dan eksternal penyebab
korupsi
- Faktor internal : Moralitas, tuntunan hidup.
- Faktor
eksternal :
a. Kesempatan:
Biasanya oleh pemilik kekuasaan, pelaku pelaksana peraturan/UU,
pengatur/pengelola kebijakan.
b. Kebutuhan:
Biasanya oleh masyarakat pengguna UU, kebijakan, peraturan, persyaratan.
3.
Dampak masif korupsi.
Korupsi memiliki dampak
penghancuran yang hebat terhadap kelangsungan hidup, adapun dampak masif
korupsi diantaranya:
a.
Dampak Sosial
Korupsi,
tidak diragukan, menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat. Menurut
Alatas, melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan
dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai oraganisasi negara dan
mencapai kehormatan. Di India, para penyelundup yang populer sukses
menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan penting. Bahkan, di Amerika
Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan proteksi kepada
organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup. Semakin
tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.
b.
Dampak terhadap demokrasi
Korupsi
melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa birokrasi di tanah air seolah menjunjung tinggi pameo “jika
bisa dibuat sulit, mengapa harus dipermudah”. Semakin tidak efisien
birokrasi bekerja, semakin besar pembiayaan tidak sah atas institusi negara
ini. Sikap masa bodoh birokrat pun akan melahirkan berbagai masalah yang
tidak terhitung banyaknya. Singkatnya, korupsi menumbuhkan
ketidakefisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi.
Transparency
International (TI), sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam upaya
antikorupsi, membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis,
yaitu : Korupsi administrative dan Korupsi politik.
c. Dampak terhadap Fungsi Pemerintahan
suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan mengabaikan
tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih, koruptor sering
mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan
korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut kehilangan
sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi rakyat.
d.
Dampak
terhadap Akhlak dan Moral
Karenanya, praktik korupsi yang kronis menimbulkan
demoralisasi di kalangan masyarakat. Korupsi yang menjangkiti kalangan elit
turut memaksa masyarakat menganut berbagai praktik di bawah meja demi
mempertahankan diri. Mereka pun terpaksa melakukan korupsi agar mendapat
bagian yang wajar, bukan untuk mencapai berbagai keuntungan luar biasa.
Inilah lingkaran setan yang klasik.
Singkatnya, demoralisasi terhadap perilaku koruptif
kalangan elit pemerintah, juga sering menyuburkan perilaku koruptif di kalangan
masyarakat.
e. Dampak Hukum
Hukum sebagai pilar untuk menekan laju pertumbuhan
tindak pidana korupsi, malah dijadikan sebagai salah satu sarana untuk
mendapatkan uang yang banyak atau dengan kata lain hukum dijadikan sebagai
salah satu sarang dari perbuatan korupsi. Dampak-dampak dari perbuatan korupsi
dibidang hukum, yaitu :
-
Banyak para aparat penegak
hukum yang tidak bersih dikarenakan pada awalnya meraka melakukan pelanggaran
hukum;
-
Hukum dijual belikan oleh
aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga putusan yang dihasilkan menjadi
tidak adil; dan
-
Menjadikan rakyat tidak percaya
lagi pada mekanisme hukum yang dikarenakan mental para aparat penegak hukum
sengat rendah.
f. Dampak Sosial Budaya
Perubahan lain dari perbuatan korupsi adalah perubahan
paradikma atau cara pandang masyarakat itu sendiri, baik masyarakat Indonesia
maupun masyarakat internasional, yang dulunya Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang jujur dan ternyata sekarang semua itu berubah menjadi salah satu bangsa
yang terkorup di dunia. Dampak-dampak dari korupsi dibidang ini adalah :
-
Korupsi yang bersifat
sistematis menyebabkan masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek-aspek profesionalisme
dan kejujuran.
-
Runtuhnya bangunan moral
bangsa; dan
-
Perbuatan korupsi yang
berkepanjangan akan menghilangkan harapan masa depan yang lebih baik.
4. Nilai dan Prinsip Anti Korupsi
Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang harus
ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas,
transparansi, kewajaran (fairness), dan adanya aturan main yang dapat membatasi
ruang gerak korupsi serta control terhadap aturan main tersebut.
a.
Prinsip akuntabilitas
merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi.
Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan
langkah-langkah yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan
secara sempurna. Oleh karena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip
pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik
berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk komitmen dan dukungan
masyarakat (de facto).
Keberadaan undang-undang maupun peraturan secara otomatis
mengharuskan adanya akuntabilitas. Dalam hal keuangan Negara pemerintah memliki
undang-undang tentang pengelolaan anggaran Negara. Sesuai dengan penjelasan
pasal 12 ayat 3 undang-undang tentang keuangan Negara, defisit anggaran
dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan jumlah pinjaman
dibatasi maksimal 60 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dalam
penyusunan APBD defisit juga tidak boleh melebihi 3 persen dan utang tidak
boleh melebihi 60 persen dari PBD.
Sebagai bentuk perwujudan prinsip akuntabilitas,
undang-undang keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang
diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah
merugikan Negara. Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar
setiap penganggaran biaya dapat disusun sesuai target atau sasaran.
b.
Prinsip Transparansi
Transparansi merupakan prinsip yang
menghartuskan semua proses kebijakan
dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat
diketahui oleh public. Transparansi menjadi pintu masuk, sekaligus konrtol bagi
seluruh proses dinamika structural kelembagaan sluruh sector kehidupan public
mensyatratkan adanya transparasi, sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan
yang merugikan masyarakat.
Dalam bentuk yang paling sederhana,
keterikatan interaksi antar dua individu atau lebih mengharuskan adanya
keterbukaan. Keterbukaan dalam konteks ini merupakan bagian dari kejujuran
untuk saling menjunjung kepercayaan (trust) yang terbina antar individu.
c.
Prinsip Fairness.
Fairness merupakan salah satu
prinsip antikorupsi yang mengedepankan kepatuhan atau Kewajaran.
Prinsip fairness saesungguhnya
lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi dalam penganggaran proyek
pembangunan, baik dalam bentuk merk up maupun ketidakwajaran kekuasaan
lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumnya, maka dalam korupsi itu
sendiri terdapat unsur-unsur manipuilasi yang penyimpangan baik dalam bentuk
anggaran, kebijakan, dan sebagainya.
Untuk menghindari pelanggaran
terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses penganggaran, di
perlukan beberapa lanhkah sebagai berikut:
Pertama, komprehensif dan disiplin yang
berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas,
prinsip pembebanan, pengeluaran, dan tidak melampaui batas (off budget).
Asas ini di maksudkan agar anggaran bias di manffatkan secara sewajarnya.
Kedua,fleksibilitas yaitu adanya diskresi
tertentu dalam konteks efisiensi dan
efektibilitas (prinsip tak tersangka, perubahan, pergeseran, dan dio
sentralisasi manajemen).
Ketiga, terprediksi, yaitu ketetapan
perencanaan atasa dasar asas value vor money dan menghindari defisit
dalam trahun anggaran berjalan.
Keempat, kejujuran, yaitu adanya bias
perkiraan penerimaan maupun pengeluaraan yang di sengaja, yang berasal dari
pertimbangan teknis maupun politis.
Kelima, informative, yakni perlu system
informasi pelaporan yang teratur dan informative sebagai dasar penilaian
kinerja, kejujuran dan proses pengembalian keputusan.
Prinsip fairness akan teraktualisasi secara
signifikan apabila didukung oleh prinsip meritokrasi, yaitu sebuah system yang
menekankan pada kualitas, kompetensi, dan prestasi seseorang selama ini,
prinsip meritokrasi terabaikan oleh adanya ikatan-ikatan primordial yang di
dukung oleh kekuasaan yang birokratis-sentralistik, sehingga memancing
timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari prinsip-prinsip kewajaran.
Dengan demikian, prinsip fairness bertujuan mencegah
menjalarnya praktekpraktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun
penyimpangan dalam segala level kehidupan. di samping itu, fairness dapat
menggiring setiap proses pembangunan khususnya yang berkaitan dengan
penganggaran berjalan secara wajar, jujur, dan sesuai dengan prosedur yang
telah di sepakati bersama pemerintah dan rakyat.
5.
Upaya
Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan
korupsi dapat dilakukan melalui 2 jalur yaitu, Jalur Penal dan Jalur Non Penal.
·
Jalur Penal
-
Kebijakan penerapan
Hukum Pidana (Criminal Law Application)
-
Sifat repressive
(penumpasan/ penindasan/pemberantasan) apabila kejahatan sudah terjadi.
-
Perlu dipahami bahwa:
upaya/tindakan represif juga dapat dilihat sebagai upaya/tindakan preventif
dalam arti luas.
-
Upaya penal dilakukan
dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana yaitu dengan menghukum atau memberi pidana atau penderitaan atau nestapa
bagi pelaku korupsi. (Nawawi Arief : 2008)
·
Jalur Non Penal
-
Kebijakan pencegahan
tanpa hukum pidana (prevention without punishment).
-
Kebijakan
untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass
media atau media lain seperti penyuluhan, pendidikan dll).
-
Sifat preventive (pencegahan).
-
Sasaran dari upaya
non-penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya korupsi,
yang berpusat pada masalah-masalah atau
kondisi-kondisi politik, ekonomi maupun sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan (korupsi).
-
Upaya non-penal
seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting atau posisi strategis
dari keseluruhan upaya penanggulangan korupsi à
karena sifatnya preventif atau mencegah sebelum terjadi.
Ada pula beberapa strategi yang dapad dilakukan yaitu:
·
Pembentukan Lembaga
Anti-Korupsi
·
Pencegahan
Korupsi di Sektor Publik
·
Pencegahan Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat
·
Pengembangan dan
Pembuatan berbagai Instrumen Hukum yang mendukung Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi
·
Monitoring dan Evaluasi
·
Kerjasama Internasional
6.
gerakan kerjasama dan instrumen internasional pencegahan
korupsi
Kerjasama internasional dibidang penegakan hokum telah terbukti
sangat menentukan keberhasilanpenegakan hukum nasional terhadap kejahatan
transnasional. Kerjasama Internasional tersebut akan sia-sia jika tidak ada kerjasama melalui perjanjian bilateral atau
multilateral dalam penyidikan,penuntutan dan peradilan.Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak
karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan
berlandaskan asas yang dikenal dan diakui oleh masyarakat internasional yang
dikenal dengan asas resiprositas(timbal balik) .
Kerjasama penegakan hukum yang pertama kali dikenal
adalah Kerja sama Internasional di bidang ekstradisi, kemudian diikuti
kerjasama penegakan hukum lainnya seperti, dengan “mutual assistance in
criminal matters”, atau “mutual legal assistance treaty”(MLAT’s); “transfer of
sentenced person (TSP); “transfer of criminal proceedings”(TCP), dan “joint
investigation” serta “handing over”. Kerjasama penegakan hukum tersebut secara
lengkap diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against
Corruption)tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun
2006 tentang Pengesahan UN Convention Against Corruption; dan Konvensi PBB Anti
Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational
Organized Crime) tahun 2000, sudah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada
bulan Desember tahun 2000, di Palermo, Italia, hanya mengatur ketentuan
mengenai ekstradisi dan mutual legal assistancedan joint investigation saja.
Indonesia telah memiliki “undang-undang payung”(umbrella
act) untuk ekstradisi dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang
Ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan
dan penyitaan asset, dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal
matters).Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerjasama penegakan hukum tersebut
adalah, bahwa perjanjian esktradisi untuk tujuan penyerahan orang(pelaku
kejahatan ), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk
pengusutan,penyitaan dan pengembalian aset hasil kejahatan.
7.
Tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia
Berdasarkan ketentuan undang-undang
nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan
pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi
adalah sebagai berikut:
Terhadap Orang yang melakukan Tindak
Pidana Korupsi
·
Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999
jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
·
Pidana Penjara
Ø Pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian
Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Ø Pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara (Pasal 3)
Ø Pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja
mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka
atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
Ø Pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
·
Pidana Tambahan
Ø Perampasan barang bergerak yang
berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut.
Ø Pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
Ø Penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Ø Pencabutan seluruh atau sebagian
hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu
yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Ø Jika terpidana tidak membayar uang
pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Ø Dalam hal terpidana tidak mempunyai
harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang
nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
·
Delik-delik Korupsi dalam KUHP
Sejarah perundang-undangan pidana korupsi
di Indonesia, dimulai dengan pengaturan beberapa delik tertentu dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku sejak 1
Januari 1918. Dalam Pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP tentang suap, dirujuk dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian
dirumuskan ulang pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mana untuk
menyimpulkan suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini harus memenuhi
unsur-unsur:
-
Setiap orang
-
Memberi sesuatu atau menjanjikan
sesuatu
-
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara
-
Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajiban.
Dalam
Pasal 209 ayat (1) angka 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagai tindak pidana korupsi, yang dirumuskan ulang dalam pada Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001. Yang mana unsur-unsur korupsi tersebut adalah:
-
Setiap orang
-
Memberi sesuatu
-
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara
-
Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang betentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dari
Pasal di atas ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001). Bahkan redaksi dari pasal-pasal tersebut
tetap sebagaimana aslinya, kecuali mengenai sanksi yang ditentukan oleh UU PTPK
tersebut.
Delik
korupsi yang merupakan delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP,
sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti pasal
209 dan 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut actieve
omkoping), berada dalam Bab yang lain, tetapi juga dalam Buku II KUHP
(tentang kejahatan).
Delik-delik
yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berlaku sekarang kebanyakan bersumberkan pada pasal-pasal KUHP. Adapun
pasal-pasal KUHP yang ditarik ialah sebagai berikut;
a)
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971
menarik tiga belas buah pasal dari KUHP melalui Pasal 1 ayat (1) sub c yaitu
Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.
Begitu juga Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 tetap
menarik pasal-pasal itu, tetapi dipisah-pisah sesuai dengan sanksinya. Namun,
ada juga rumusan delik yang digabung dalam satu pasal.
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 menyalin seluruh bunyi rumusan delik dari KUHP, kemudian
mencabut pasal-pasal tersebut di dalam KUHP.
b)
Pasal-pasal 220, 231, 421, 422, 429 dan Pasal 430 KUHP,
delik umum yang berkaitan dengan korupsi tetap ditarik dengan menaikkan ancaman
pidananya.
Berdasarkan
rumusan di atas, maka Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jelas-jelas mengambil
alih 13 (tiga belas) pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Tindak
Pidana Korupsi. Ketiga belas pasal tersebut, jika dicermati, maka dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Ø Delik Suap
yang mencakup 5 (lima) pasal yakni:
-
Pasal 5 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 209 KUHP;
-
Pasal 6 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 210 KUHP;
-
Pasal 11 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 418 KUHP;
-
Pasal 12 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 419 KUHP;
-
Pasal 12 UU No. 20/2001 huruf e, f jo ex. Pasal 420 KUHP.
Ø Delik Penggelapan
Delik
Penggelapan yang menjadi tindak pidana korupsi berasal dari KUHP adalah:
-
Pasal 8 UU No. 20/2001 jo ex. Pasal 415 KUHP;
-
Pasal 9 UU No. 20/2001 jo ex. Pasal 416 KUHP;
-
Pasal 10 UU No. 20/2001 jo ex. Pasal 417 KUHP.
Ø Delik Pemerasan (Knevelarij)
Hal ini
diatur sebagai berikut:
-
Pasal 12 huruf e jo. ex. Pasal 423 KUHP.
Ø Delik Berkenaan dengan Pemborong/Rekanan
Hal ini
diatur sebagai berikut:
-
Pasal 7 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 387 dan Pasal 388.
-
Pasal 12 huruf i jo. ex. Pasal 435 KUHP.
Ø Pemberatan sanksi
Hal ini
diatur dalam Pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam perkara korupsi, pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421,
Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
8.
peran dan keterlibatan Mahasiswa dalam gerakan anti
korupsi
Pemberantasan
korupsi (terutama Pencegahan) perlu melibatkan peran serta masyarakat ,
termasuk mahasiswa. Mahasiswa mempunyai potensi besar untuk menjadi agen
perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi.
fenomena
korupsi selalu tidak berhenti menggrogoti negeri kita, korupsi merupakan
kejahatan yang bukan hanya merugikan negara tetapi juga masyarakat. Artinya
keadilan dan kesejahteraan masyarakat sudah mulai terancam. Maka saatnya
mahasiswa sadar dan bertindak. Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh
mahasiswa adalah:
·
Menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di kampus.
Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa yaitu menanamkan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan korupsi walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya terlambat datang ke kampus, menitipkan absen kepada teman jika tidak masuk atau memberikan uang suap kepada para pihak pengurus beasiswa dan macam-macam tindakan lainnya. Memang hal tersebut kelihatan sepele tetapi berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan bahkan yang lebih parah adalah menjadi sebuah karakter.
Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa yaitu menanamkan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan korupsi walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya terlambat datang ke kampus, menitipkan absen kepada teman jika tidak masuk atau memberikan uang suap kepada para pihak pengurus beasiswa dan macam-macam tindakan lainnya. Memang hal tersebut kelihatan sepele tetapi berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan bahkan yang lebih parah adalah menjadi sebuah karakter.
Selain kesadaran pada masing-masing mahasiswa maka mereka juga harus
memperhatikan kebijakan internal kampus agar dikritisi sehingga tidak
memberikan peluang kepada pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan melalui
korupsi. Misalnya ketika penerimaan mahasiswa baru mengenai biaya yang
diestimasikan dari pihak kampus kepada calon mahasiswa maka perlu bagi
mahasiswa untuk mempertanyakan dan menuntut sebuah transparasi dan jaminan yang
jelas dan hal lainnya. Jadi posisi mahasiswa di sini adalah sebagai pengontrol kebijakan
internal universitas.
·
Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan
korupsi.
Upaya mahasiswa ini misalnya memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya melakukan tindakan korupsi karena pada nantinya akan mengancam dan merugikan kehidupan masyarakat sendiri. Serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat sadar bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan mengerahkan kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja melainakan seluruh lapisan masyarakat.
Upaya mahasiswa ini misalnya memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya melakukan tindakan korupsi karena pada nantinya akan mengancam dan merugikan kehidupan masyarakat sendiri. Serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat sadar bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan mengerahkan kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja melainakan seluruh lapisan masyarakat.
·
Menjadi
alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah.
Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil negosiasi yang terbaik.
Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil negosiasi yang terbaik.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Korupsi adalah
tindakan yang harus diberantas segera karena mengancam keadilan dan
kesejahteraan masyarakat. Sehingga perlu peran serta semua lapisan masyarakat.
Mahasiswa adalah salah satu bagian masyarakat yang mempunyai pengaruh signifikan
dalam memperngarhi kebijakan pemerintah dan menggerakkan lapisan masyarakat
yang lain. Sehingga pemberantasan korupsi bisa lebih efektif. Upaya-upaya yang
dilakukan mahasiswa adalah menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di kampus,
memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan korupsi dan
menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah. Maka mahasiwa harus
lebih berkomitmen dalam memberantas korupsi supaya upaya mereka berjalan
semaksimal mungkin.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar