Kamis, 06 Februari 2014

Pendidikan Anti Korupsi


BAB I
PENDAHULUAN

1.   Latar Belakang
Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects) terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya harga jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan juga sering terjadinya pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan. 

2.   Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian Korupsi?
b.      Apa saja faktor penyebab korupsi?
c.       Apa saja dampak masif korupsi?
d.      Apa nilai dan prinsip anti korupsi?
e.       Apa saja upaya pemberantasan korupsi?
f.       Apa gerakan kerjasama dan instrumen internasional pencegahan korupsi?
g.      Apa saja  tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
h.      Apa peran dan keterlibatan Mahasiswa dalam gerakan anti korupsi?

3.   Tujuan Penuilisan
Makalah ini saya buat mempunyai 2 tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
·         Tujuan Umum      : Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi.
·         Tujuan Khusus     :agar para pembaca mengerti tentang korupsi dari sejarah korupsi, jenis-jenis korupsi, dampak korupsi, hukum pidana korupsi, dll.
Saya harap korupsi di Negeri Indonesia segera musnah agar Rakyat dan Negara sejahtera.















BAB II
PEMBAHASAN

1.  Pengertian Korupsi
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi juga memiliki sejarah, sejarah korupsipun ada bermacam-macam sesuai dengan perubahan zaman dan era.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari. Perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Era Pasca Kemerdekaan
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Adapun bentuk-bentuk korupsi diantaranya:
-       Transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan.
-       Menggelapkan dan manipulasi barang milik lembaga, BUMN/BUMD, swastanisasi anggaran pemerintah.
-       Penerimaan pegawai berdasarkan jual beli barang.
-       Jual beli jabatan, promosi nepotisme dan suap promosi.
-       Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, jual beli besaran pajak yang harus dikenali, dan menyalahgunakan keuangan.
-       Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan memperdaya serta memeras.
-       Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara tidak sah dan menjebak.
-       Jual beli tuntutan hukuman, vonis, dan surat keputusan.
-       Tidak menjalankan tugas, desersi.
-       Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak sah dan meminta komisi.
-       Jual beli objek pemeriksaan, menjual temuan, memperhalus dan mengaburkan temuan.
-       Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan membuat laporan palsu.
-       Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah.
-       Manipulasi peraturan, memunjamkan uang negara secara pribadi.
-       Menghindari pajak, meraih laba secara berlebihan.
-       Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.
-       Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
-       Penempatan uang pemerintah kepada Bank tertentu yang berani memberikan bujed yang tidak sesuai yang sebenarnya.
Bentuk Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan tindakan yang sangat tercela. selain merugikan negara, tindakan korupsi juga dapat merugikan pelaku korupsi itu sendiri jika terbukti perbuatannya diketahui oleh badan penindak korupsi yang berwenang.
Di Indonesia, klasifikasi tindakan korupsi secara garis besar dapat di golongkan dalam beberapa macam bentuk. khusus untuk instansi yang melakukan administrasi penerimaan (revenue administration) yang meliputi instansi pajak dan bea cukai, tidak termasuk pemda dan pengelola penerimaan pnbp, tindakan korupsi dapat dibagikan menjadi beberapa jenis, antara lain:
-          Korupsi kecil-kecilan (petty corruption) dan Korupsi besar-besaran (grand corruption)
Korupsi kecil-kecilan merupakan bentuk korupsi sehari-hari dalam pelaksanaan suatu kebijakan pemerintah. korupsi ini biasanya cenderung terjadi saat petugas bertemu langsung dengan masyarakat.
Korupsi ini disebut juga dengan nama korupsi rutin (routine corruption) atau korupsi untuk bertahan hidup (survival corruption). korupsi kecil-kecilan umumnya dijalankan oleh para pejabat junior dan pejabat tingkat bawah sebagai pelaksana fungsional.
Contohnya adalah pungutan untuk mempercepat proses pencairan dana yang terjadi di kppn.
Sedangkan korupsi besar-besaran umumnya dijalankan oleh pejabat level tinggi, karena korupsi jenis ini melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. korupsi ini terjadi saat pembuatan, perubahan, atau pengecualian dari peraturan. Contohnya adalah pemberian pembebasan pajak bagi perusahaan besar.

-          Penyuapan (bribery)
Bentuk penyuapan yang biasanya dilakukan dalam birokrasi pemerintahan di indonesia khususnya di bidang atau instansi yang mengadministrasikan penerimaan negara (revenue administration) dapat dibagi menjadi empat, antara lain:
a)      Pembayaran untuk menunda atau mengurangi kewajiban bayar pajak dan cukai.
b)      Pembayaran untuk meyakinkan petugas agar tutup mata terhadap kegiatan ilegal.
c)      Pembayaran kembali (kick back) setelah mendapatkan pembebasan pajak, agar di masa mendatang mendapat perlakuan yang lebih ringan daripada administrasi normal.
d)     Pembayaran untuk meyakinkan atau memperlancar proses penerbitan ijin (license) dan pembebasan (clearance).
-          Penyalahgunaan / Penyelewengan ( misappropriation)
Penyalahgunaan / Penyelewengan dapat terjadi bila pengendalian administrasi (check and balances) dan pemeriksaan serta supervisi transaksi keuangan tidak berjalan dengan baik. Contoh dari korupsi jenis ini adalah pemalsuan catatan, klasifikasi barang yang salah, serta kecurangan (fraud).

-          Penggelapan (embezzlement)
Korupsi ini adalah dengan menggelapkan atau mencuri uang negara yang dikumpulkan, menyisakan sedikit atau tidak sama sekali.
-          Pemerasan (extortion)
Pemerasan ini terjadi ketika masyarakat tidak mengetahui tentang peraturan yang berlaku, dan dari celah inilah para petugas melakukan pemerasan dengan menakut-nakuti masyarakat untuk membayar lebih mahal daripada yang semestinya.
-          Perlindungan (patronage)
Perlindungan dilakukan termasuk dalam hal pemilihan, mutasi, atau promosi staf berdasarkan suku, kinship, dan hubungan sosial lainnya tanpa mempertimbangkan prestasi dan kemampuan dari seseorang tersebut.


2.  Faktor- faktor penyebab korupsi
Ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, diantaranya:
-       Faktor Manusia, menurut pandangan ini sebab utama terjadinya korupsi adalah faktor-faktor personal aparat. Seperti mentalitas aparat yg buruk, Kemampuan kerja aparat yg kurang memadai, kemiskinan keluarga, dan faktor personal lainnya.
-       Faktor Lingkungan, Sebab terjadinya korupsi adalah faktor lingkungan yang kurang memadai, meliputi lingkungan politik, budaya, dan manajemen birokrasi.
-       Gabunganga Faktor Manusia dan Lingkungan.
Ada pula faktor lainnya, yaitu :
-       Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
-       Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
-       Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
-       Rendahnya  pendapatan penyelenggara Negara.  Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
-       Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi.  Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
-       Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
-       Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
-       Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi.  Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
-       Gagalnya pendidikan agama dan etika.  Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.  Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya.  Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk
Faktor internal dan eksternal penyebab korupsi
-       Faktor internal      : Moralitas, tuntunan hidup.
-       Faktor eksternal   :
a.    Kesempatan: Biasanya oleh pemilik kekuasaan, pelaku pelaksana peraturan/UU, pengatur/pengelola kebijakan. 
b.    Kebutuhan: Biasanya oleh masyarakat pengguna UU, kebijakan, peraturan, persyaratan.

3.  Dampak masif korupsi.
Korupsi memiliki dampak penghancuran yang hebat terhadap kelangsungan hidup, adapun dampak masif korupsi diantaranya:
a.    Dampak Sosial
Korupsi, tidak diragukan, menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat. Menurut Alatas, melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai oraganisasi negara dan mencapai kehormatan.  Di India, para penyelundup yang populer sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan penting. Bahkan, di Amerika Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan proteksi kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup.  Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.

b.   Dampak terhadap demokrasi
Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di tanah air seolah menjunjung tinggi pameo “jika bisa dibuat sulit, mengapa harus dipermudah”.  Semakin tidak efisien birokrasi bekerja, semakin besar pembiayaan tidak sah atas institusi negara ini.  Sikap masa bodoh birokrat pun akan melahirkan berbagai masalah yang tidak terhitung banyaknya.  Singkatnya, korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi.
Transparency International (TI), sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam upaya antikorupsi, membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu  : Korupsi administrative dan Korupsi politik.
c.    Dampak terhadap Fungsi Pemerintahan
suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih, koruptor sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi rakyat.

d.   Dampak terhadap Akhlak dan Moral
Karenanya, praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan masyarakat. Korupsi yang menjangkiti kalangan elit turut memaksa masyarakat menganut berbagai praktik di bawah meja demi mempertahankan diri.  Mereka pun terpaksa melakukan korupsi agar mendapat bagian yang wajar, bukan untuk mencapai berbagai keuntungan luar biasa.  Inilah lingkaran setan yang klasik. 
Singkatnya, demoralisasi terhadap perilaku koruptif kalangan elit pemerintah, juga sering menyuburkan perilaku koruptif di kalangan masyarakat.

e.    Dampak Hukum
Hukum sebagai pilar untuk menekan laju pertumbuhan tindak pidana korupsi, malah dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan uang yang banyak atau dengan kata lain hukum dijadikan sebagai salah satu sarang dari perbuatan korupsi. Dampak-dampak dari perbuatan korupsi dibidang hukum, yaitu :
-          Banyak para aparat penegak hukum yang tidak bersih dikarenakan pada awalnya meraka melakukan pelanggaran hukum;
-          Hukum dijual belikan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga putusan yang dihasilkan menjadi tidak adil; dan
-          Menjadikan rakyat tidak percaya lagi pada mekanisme hukum yang dikarenakan mental para aparat penegak hukum sengat rendah.

f.     Dampak Sosial Budaya
Perubahan lain dari perbuatan korupsi adalah perubahan paradikma atau cara pandang masyarakat itu sendiri, baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional, yang dulunya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang jujur dan ternyata sekarang semua itu berubah menjadi salah satu bangsa yang terkorup di dunia. Dampak-dampak dari korupsi dibidang ini adalah :
-          Korupsi yang bersifat sistematis menyebabkan masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek-aspek profesionalisme dan kejujuran.
-          Runtuhnya bangunan moral bangsa; dan
-          Perbuatan korupsi yang berkepanjangan akan menghilangkan harapan masa depan yang lebih baik.

4.  Nilai dan Prinsip Anti Korupsi
Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, kewajaran (fairness), dan adanya aturan main yang dapat membatasi ruang gerak korupsi serta control terhadap aturan main tersebut.
a.    Prinsip akuntabilitas
merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh karena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk komitmen dan dukungan masyarakat (de facto).
Keberadaan undang-undang maupun peraturan secara otomatis mengharuskan adanya akuntabilitas. Dalam hal keuangan Negara pemerintah memliki undang-undang tentang pengelolaan anggaran Negara. Sesuai dengan penjelasan pasal 12 ayat 3 undang-undang tentang keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dalam penyusunan APBD defisit juga tidak boleh melebihi 3 persen dan utang tidak boleh melebihi 60 persen dari PBD.
Sebagai bentuk perwujudan prinsip akuntabilitas, undang-undang keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah merugikan Negara. Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap penganggaran biaya dapat disusun sesuai target atau sasaran.

b.   Prinsip Transparansi
     Transparansi merupakan prinsip yang menghartuskan semua proses kebijakan  dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh public. Transparansi menjadi pintu masuk, sekaligus konrtol bagi seluruh proses dinamika structural kelembagaan sluruh sector kehidupan public mensyatratkan adanya transparasi, sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat.
     Dalam bentuk yang paling sederhana, keterikatan interaksi antar dua individu atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan. Keterbukaan dalam konteks ini merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjunjung kepercayaan (trust) yang terbina antar individu.

c.    Prinsip Fairness.
     Fairness merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan kepatuhan atau Kewajaran.
     Prinsip fairness saesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bentuk merk up maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumnya, maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipuilasi yang penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijakan, dan sebagainya.
     Untuk menghindari pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses penganggaran, di perlukan beberapa lanhkah sebagai berikut:
Pertama, komprehensif dan disiplin yang berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas, prinsip pembebanan, pengeluaran, dan tidak melampaui batas (off budget). Asas ini di maksudkan agar anggaran bias di manffatkan secara sewajarnya.
Kedua,fleksibilitas yaitu adanya diskresi tertentu  dalam konteks efisiensi dan efektibilitas (prinsip tak tersangka, perubahan, pergeseran, dan dio sentralisasi manajemen).
Ketiga, terprediksi, yaitu ketetapan perencanaan atasa dasar asas value vor money dan menghindari defisit dalam trahun anggaran berjalan.
Keempat, kejujuran, yaitu adanya bias perkiraan penerimaan maupun pengeluaraan yang di sengaja, yang berasal dari pertimbangan teknis maupun politis.
Kelima, informative, yakni perlu system informasi pelaporan yang teratur dan informative sebagai dasar penilaian kinerja, kejujuran dan proses pengembalian keputusan.
Prinsip fairness akan teraktualisasi secara signifikan apabila didukung oleh prinsip meritokrasi, yaitu sebuah system yang menekankan pada kualitas, kompetensi, dan prestasi seseorang selama ini, prinsip meritokrasi terabaikan oleh adanya ikatan-ikatan primordial yang di dukung oleh kekuasaan yang birokratis-sentralistik, sehingga memancing timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari prinsip-prinsip kewajaran.
Dengan demikian, prinsip fairness bertujuan mencegah menjalarnya praktekpraktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun penyimpangan dalam segala level kehidupan. di samping itu, fairness dapat menggiring setiap proses pembangunan khususnya yang berkaitan dengan penganggaran berjalan secara wajar, jujur, dan sesuai dengan prosedur yang telah di sepakati bersama pemerintah dan rakyat.




5.  Upaya Pemberantasan Korupsi
                        Pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui 2 jalur yaitu, Jalur Penal dan Jalur Non Penal.
·        Jalur Penal
-         Kebijakan penerapan Hukum Pidana (Criminal Law Application)
-         Sifat repressive (penumpasan/ penindasan/pemberantasan) apabila kejahatan sudah terjadi.
-         Perlu dipahami bahwa: upaya/tindakan represif juga dapat dilihat sebagai upaya/tindakan preventif dalam arti luas.
-         Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana yaitu dengan menghukum atau memberi pidana atau penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi. (Nawawi Arief : 2008)

·         Jalur Non Penal
-          Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment).
-          Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media atau media lain seperti penyuluhan, pendidikan dll).
-          Sifat preventive (pencegahan).
-          Sasaran dari upaya non-penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya korupsi, yang  berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi politik, ekonomi maupun sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan (korupsi).
-          Upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting atau posisi strategis dari keseluruhan upaya penanggulangan korupsi à karena sifatnya preventif atau mencegah sebelum terjadi.
Ada pula beberapa strategi yang dapad dilakukan yaitu:
·        Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
·        Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
·        Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
·        Pengembangan dan Pembuatan berbagai Instrumen Hukum yang mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
·        Monitoring dan Evaluasi
·        Kerjasama Internasional

6.  gerakan kerjasama dan instrumen internasional pencegahan korupsi
Kerjasama internasional dibidang penegakan hokum telah terbukti sangat menentukan keberhasilanpenegakan hukum nasional terhadap kejahatan transnasional. Kerjasama Internasional tersebut akan sia-sia jika tidak ada kerjasama melalui perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyidikan,penuntutan dan peradilan.Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas yang dikenal dan diakui oleh masyarakat internasional yang dikenal dengan asas resiprositas(timbal balik) .
Kerjasama penegakan hukum yang pertama kali dikenal adalah Kerja sama Internasional di bidang ekstradisi, kemudian diikuti kerjasama penegakan hukum lainnya seperti, dengan “mutual assistance in criminal matters”, atau “mutual legal assistance treaty”(MLAT’s); “transfer of sentenced person (TSP); “transfer of criminal proceedings”(TCP), dan “joint investigation” serta “handing over”. Kerjasama penegakan hukum tersebut secara lengkap diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption)tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UN Convention Against Corruption; dan Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime) tahun 2000, sudah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada bulan Desember tahun 2000, di Palermo, Italia, hanya mengatur ketentuan mengenai ekstradisi dan mutual legal assistancedan joint investigation saja.
Indonesia telah memiliki “undang-undang payung”(umbrella act) untuk ekstradisi dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters).Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerjasama penegakan hukum tersebut adalah, bahwa perjanjian esktradisi untuk tujuan penyerahan orang(pelaku kejahatan ), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan,penyitaan dan pengembalian aset hasil kejahatan.

7.  Tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
·         Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
·         Pidana Penjara
Ø  Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Ø  Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Ø  Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
Ø  Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

·         Pidana Tambahan
Ø  Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
Ø  Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Ø  Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Ø  Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Ø  Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Ø  Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.



·         Delik-delik Korupsi dalam KUHP
Sejarah perundang-undangan pidana korupsi di Indonesia, dimulai dengan pengaturan beberapa delik tertentu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku sejak 1 Januari 1918. Dalam Pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP tentang suap, dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mana untuk menyimpulkan suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini harus memenuhi unsur-unsur:
-          Setiap orang
-           Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu
-          Kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara
-          Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajiban.
Dalam Pasal 209 ayat (1) angka 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang dirumuskan ulang dalam pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Yang mana unsur-unsur korupsi tersebut adalah:
-          Setiap orang
-          Memberi sesuatu
-          Kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara
-          Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang betentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dari Pasal di atas ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001). Bahkan redaksi dari pasal-pasal tersebut tetap sebagaimana aslinya, kecuali mengenai sanksi yang ditentukan oleh UU PTPK tersebut.
Delik korupsi yang merupakan delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti pasal 209 dan 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut actieve omkoping), berada dalam Bab yang lain, tetapi juga dalam Buku II KUHP (tentang kejahatan).
Delik-delik yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sekarang kebanyakan bersumberkan pada pasal-pasal KUHP. Adapun pasal-pasal KUHP yang ditarik ialah sebagai berikut;
a)      Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971 menarik tiga belas buah pasal dari KUHP melalui Pasal 1 ayat (1) sub c yaitu Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP. Begitu juga Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 tetap menarik pasal-pasal itu, tetapi dipisah-pisah sesuai dengan sanksinya. Namun, ada juga rumusan delik yang digabung dalam satu pasal.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menyalin seluruh bunyi rumusan delik dari KUHP, kemudian mencabut pasal-pasal tersebut di dalam KUHP.     
b)      Pasal-pasal 220, 231, 421, 422, 429 dan Pasal 430 KUHP, delik umum yang berkaitan dengan korupsi tetap ditarik dengan menaikkan ancaman pidananya.
Berdasarkan rumusan di atas, maka Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jelas-jelas mengambil alih 13 (tiga belas) pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Tindak Pidana Korupsi. Ketiga belas pasal tersebut, jika dicermati, maka dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Ø Delik Suap
 yang mencakup 5 (lima) pasal yakni:
-          Pasal 5 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 209 KUHP;
-          Pasal 6 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 210 KUHP;
-          Pasal 11 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 418 KUHP;
-          Pasal 12 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 419 KUHP;
-          Pasal 12 UU No. 20/2001 huruf e, f jo ex. Pasal 420 KUHP.
Ø  Delik Penggelapan
Delik Penggelapan yang menjadi tindak pidana korupsi berasal dari KUHP adalah:
-          Pasal 8 UU No. 20/2001 jo ex. Pasal 415 KUHP;
-          Pasal 9 UU No. 20/2001 jo ex. Pasal 416 KUHP;
-          Pasal 10 UU No. 20/2001 jo ex. Pasal 417 KUHP.
Ø  Delik Pemerasan (Knevelarij)
Hal ini diatur sebagai berikut:
-          Pasal 12 huruf e jo. ex. Pasal 423 KUHP.
Ø  Delik Berkenaan dengan Pemborong/Rekanan
Hal ini diatur sebagai berikut:
-          Pasal 7 UU No. 20/2001 jo. ex. Pasal 387 dan Pasal 388.
-          Pasal 12 huruf i jo. ex. Pasal 435 KUHP.
Ø  Pemberatan sanksi
Hal ini diatur dalam Pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
8.  peran dan keterlibatan Mahasiswa dalam gerakan anti korupsi
Pemberantasan korupsi (terutama Pencegahan) perlu melibatkan peran serta masyarakat , termasuk mahasiswa. Mahasiswa mempunyai potensi besar untuk menjadi agen perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi.
fenomena korupsi selalu tidak berhenti menggrogoti negeri kita, korupsi merupakan kejahatan yang bukan hanya merugikan negara tetapi juga masyarakat. Artinya keadilan dan kesejahteraan masyarakat sudah mulai terancam. Maka saatnya mahasiswa sadar dan bertindak. Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah:
·         Menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di kampus.
Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa yaitu menanamkan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan korupsi walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya terlambat datang ke kampus, menitipkan absen kepada teman jika tidak masuk atau memberikan uang suap kepada para pihak pengurus beasiswa dan macam-macam tindakan lainnya. Memang hal tersebut kelihatan sepele tetapi berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan bahkan yang lebih parah adalah menjadi sebuah karakter.
Selain kesadaran pada masing-masing mahasiswa maka mereka juga harus memperhatikan kebijakan internal kampus agar dikritisi sehingga tidak memberikan peluang kepada pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan melalui korupsi. Misalnya ketika penerimaan mahasiswa baru mengenai biaya yang diestimasikan dari pihak kampus kepada calon mahasiswa maka perlu bagi mahasiswa untuk mempertanyakan dan menuntut sebuah transparasi dan jaminan yang jelas dan hal lainnya. Jadi posisi mahasiswa di sini adalah sebagai pengontrol kebijakan internal universitas.


·         Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan korupsi.
Upaya mahasiswa ini misalnya memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya melakukan tindakan korupsi karena pada nantinya akan mengancam dan merugikan kehidupan masyarakat sendiri. Serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat sadar bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan mengerahkan kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja melainakan seluruh lapisan masyarakat.

·          Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah.
Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil negosiasi yang terbaik.








BAB III
PENUTUP

1.     Kesimpulan
     Korupsi adalah tindakan yang harus diberantas segera karena mengancam keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga perlu peran serta semua lapisan masyarakat. Mahasiswa adalah salah satu bagian masyarakat yang mempunyai pengaruh signifikan dalam memperngarhi kebijakan pemerintah dan menggerakkan lapisan masyarakat yang lain. Sehingga pemberantasan korupsi bisa lebih efektif. Upaya-upaya yang dilakukan mahasiswa adalah menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di kampus, memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan korupsi dan menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah. Maka mahasiwa harus lebih berkomitmen dalam memberantas korupsi supaya upaya mereka berjalan semaksimal mungkin.















DAFTAR PUSTAKA





Tidak ada komentar:

Posting Komentar