Selasa, 19 November 2013

Belajar dan Pembelajaran

1. Di era Teknologi Informasi dan Komunikasi pada saat ini, kegiatan pembelajaran dituntut untuk dapat bersinergi dengan TIK. Jelaskan hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran! 
Jawaban: Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, sangat berpengaruh terhadap penyusunan dan implementasi strategi pembelajaran. Melalui kemajuan tersebut para guru dapat menggunakan berbagai media sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Dengan menggunakan media komunikasi bukan saja dapat mempermudah dan mengefektifkan proses pembelajaran, akan tetapi juga bisa membuat proses pembelajaran lebih menarik. Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi. Dalam suattu proses komunikasi selalu melibatkan tiga komponen pokok, yaitu komponen pengirim pesan (guru), komponen penerima pesan (siswa), dan komponen pesanitu sendiri yang biasanya berupa materi pelajaran. Kadang-kadang dalam proses pembelajaran terjadi kegagalan komunikasi. Artinya, materi pelajaran atau pesan yang disampaikan guru tidak dapat diterima oleh siswa dengan optimal, artinya tidak seluruh materi pelajaran dapat dipahami dengan baik oleh siswa; lebih parah lagi siswa sebagai penerima pesan salah menangkap isi pesan yang disampaikan. Untuk menghindari semua itu, maka guru dapat menyusun strategi pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar. (Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan – Kencana Prenada Media, 2011:162) Prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam penggunaan TIK pada setiap kegiatan belajar mengajar adalah bahwa TIK digunakan dan diarahkan untuk mempermudah siswa belajar dalam upaya memahami materi pelajaran. Dengan demikian penggunaan media harus dipandang dari sudut kebutuhan siswa. Hal ini perlu ditekankan sebab sering TIK dipersiapkan hanya dilihat dari sudut kepentingan guru. Kejadian lain yang sering terjadi adalah ketika guru menggunakan media film atau melakukan karyawisata. Oleh karena media digunakan tidak diarahkan untuk mempermudah belajar, maka baik film maupun karyawisata sering hanya dijadikan sebagai media hiburan saja. Agar media pembelajaran benar-benar digunakan untuk membelajarkan siswa maka ada sejumlah prinsip yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan media (TIK) dalam pembelajaran, diantaranya: a. Media yang akan digunakan oleh guru harus sesuai dan diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Media tidak digunakan sebagai alat hiburan, atau tidak semata-mata dimanfaatkan untuk mempermudah guru menyampaikan materi, akan tetapi benar-benar untuk membantu siswa belajar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. b. Media yang digunakan harus sesuai dengan kemampuan guru dalam mengoperasikannya. Sering media yang kompleks terutama media-media mutakhir seperti komputer, LCD dan media elektronik lainnya memerlukan kemampuan khusus dalam mengoperasikannya. Media secanggih apapun tidak akan bisa menolong tanpa kemampuan teknis mengoperasikannya. Oleh karena itulah sebaiknya guru mempelajari dahulu bagaimana mengoperasikan dan memanfaatkan media yang akan digunakan. Hal ini perlu ditekankan, sebab sering guru melakukan kesalahan-kesalahan yang prinsip dalam menggunakan media pembelajaran yang pada akhirnya penggunaan media bukan menambah kemudahan siswa belajar, malah sebaliknya mempersulit siswa belajar. (Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan – Kencana Prenada Media, 2011: 173, 174) 

 2. Teori-teori belajar melahirkan beragam pengertian tentang belajar. Salah satu pengertian belajar menurut teori kognitif adalah Thinking Skill. Uraikan yang dimaksud dengan Thinking Skill dan model pembelajaran yang mendukungnya! 
Jawaban: Teori konstruktivistik yang dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad 20 yang termasuk juga dalam teori kognitif. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna , sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan itu hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan. (Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan – Kencana Prenada Media, 2011:123, 124) Model pembelajaran yang mendukung teori tersebut adalah Model Pembelajaran Berbasis Masalah.model pembelajaran berbasis masalah dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang dictuskan oleh Jerome Bruner. Konsep tersebut adalah belajar penemuanatau discovery learning. Mengenai discovery learning, Johnson membedakannya dengan inquery learning. Dalam discovery learning, ada pengalaman yang disebut “...Ahaa experience” yang daapt diartikan seperti, ...Nah, ini dia”. Sebaliknya, inquery learning tidak selalu sampai pada proses tersebut. Hal ini karena proses akhir discovery learning adalah penemuan, sedangkan inquery learning proses akhir terletak pada kepuasan kegiatan meneliti. Walaupun ada pendapat yang membedakan antara discovery learning dan inquery learning, namun keduanya memiliki persamaan. discovery learning dan inquery learning merupakan pembelajaran beraksentuasi pada masalah-masalah kontekstual. Keduanya merupakan pembelajaran yang menekankan aktivitas penyelidikan. Proses belajar penemuan meliputi proses informasi, transformasi dan evaluasi. Proses informasi, pada tahap ini peserta didik memperoleh informasi mengenai materi yang sedang dipelajari. Pada tahap ini peserta didik melakukan penyandian atau encoding atas informasi yang diterimanya. Berbagai respons yang diberikan peserta didik atas informasi yang diperolehnya. Ada yang menganggap informasi yang diterimanya sebagai sesuatu yang baru. Ada pula yang menyikapi informasi yang diperolehnya lebih mendalam dan luas dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Tahap transformasi, pada tahap ini peserta didik melakukan identifikasi, analisi, mengubah, mentransformasikan informasi yang diperolehnya menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Dalam tahap ini peserta didik mengembangkan inferensi logikanya. Tahap ini dirasakan sesuatu yang sulit dalam belajar penemuan. Dalam keadaan seperti itu guru diharapkan kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat. Tahap evaluasi, pada tahap ini peserta didik menilai sendiri informasi yang telah ditransformasikan itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan masalah yang dihadapi. Belajar penemuan menekankan pada berpikir tingkat tinggi. Belajar ini memfasilitasi peserta didik mengembangkan dialektika berpikir melalui induksi logika yaitu berpikir dari fakta ke konsep. Peserta didik diharapkan tidak hanya mampu mendeskripsikan secara faktual apa yang dipelajari, namun peserta didik juga diharapkan mampu mendeskripsikan secara analitis atau konseptual. Entitas lainnya dalam belajar penemuan adalah kuasalitas dan generalisasi. Kausalitas menunjuk pada eksplanan (menjelaskan) dan explanandum (dijelaskan). Dalam eksplanan terdapat generalisasi. Generalisasi berarti menarik kesimpulan dari hal-hal yang khusus kepada yang umum. Hasil belajar dari pembelajaran berbasis masalah adalah peserta didik memiliki keterampilan penyelidikan. Peserta didik mempunyai keterampilan mengatasi masalah. Peserta didik mempunyai kemampuan mempelajari peran orang dewasa. Peserta didik dapat menjadi pembelajar yang mandiri dan independen. (Agus Suprijono. Cooperative Learning Teori & Aplikasi Paikem- Pustaka Pelajar: 68, 69, 70 72) 

 3. Kurikulum 2013 menekankan pada pembentukan karakter. Pelaksanaan pembelajaran diarahkan pada pembentukkan karakter peserta didik. Dari berbagai macam teori belajar yang ada, teori belajar yang mana yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan pembelajaran dalam upaya pembentukan karakter. Uraikan pendapatmu disertai dengan alasannya!
 Jawaban: Menurut saya teori belajar yang dapat dijadikan sebagai landasan pelaksanaan pembelajaran dalam upaya pembentukan karakter adalah Teori Belajar Koneksionisme yang dikembangkan oleh Thorndike sekitar tahun 1913. Menurut teori belajar ini, belajar pada hewan dan pada manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulud dan Respons (S-R). Oleh karena itulah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respons. Bagaimana terjadinya hubungan antara Stimulus dan Respons ini perhatikan ilustrasi di bawah ini. Ketika seseorang melirik setangkai bunga melati yang indah dan harum di taman, dapat menjadi Stimulus yang dapatmengakibatkan munculnya Respons untuk memetiknya. Atau: Ketika seseorang sedang mengendarai sepeda motor tiba-tiba lampu merah menyala, maka dengan seketika orang tersebut mengerem motornya dan kemudian berhenti. Dalam kasus itu lampu merah merupakan stimulus bagi orang yang mengendarai sepeda motor itu, dengan mengerem untuk menghentikan motornya adalah respons. Begitulah terjadinya hubungan stimulus dan respons terjadi. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respons sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, dalam teori koneksionisme ini Thorndike mengemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut: a) Hukum kesiapan (law of readiness) Menurut hukum ini, hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Secara lengkap bunyi hukum ini adalah: Pertama, jika pada seseorang ada kesiapan untuk merespons atau bertindak, maka tindakan atau respons yang dilakukannya akan memberi kepuasan, dan mengakibatkan orang tersebut untuk tidak melakukan tindakan-tindakan lain. Kedua, jika seseorang memiliki kesiapan untuk merespons, kemudian tidak dilakukannya, maka dapat mengakibatkan ketidakpuasan, dan akibatnya orang tersebut akan melakukan tindakan-tindakan lain. Ketiga, jika seseorang tidak memiliki kesiapan untuk merespons, maka respons yang diberikan akan mengakibatkan ketidakpuasan. Implikasi praktis dari hukum ini adalah, keberhasilan belajar seseorang sangat tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan. b) Hukum latihan (law of exercise) Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Hubungan antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan (law of use) dan koneksi-koneksi itu akan menjadi lemah karena latihan tidak dilanjutkan atau dihentikan (law of disuse). Hukum ini menunjukkan bahwa hubungan stimulus dan respons akan semakin kuat manakala terus menerus dilatih atau diulang, sebaliknya hubungan stimulus respons akan semakin lemah manakala tidak pernah diulang. Implikasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasailah pelajaran tersebut. c) Hukum akibat (law of effect) Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Apabila respons yang diberikan seseorang mendatangkan kesenangan, maka respons tersebut akan dipertahankan atau diulang. Sebaliknya, jika respons yang diberikan mendatangkan atau diikuti oleh akibat yang tidak mengenakkan, maka respons tersebut akan dihentikan dan tidak akan diulang lagi. Implikasi dari hukum ini adalah apabila m engharapkan agar seseorang dapat mengulangi respons yang sama , maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya, contohnya dengan memberi pujian atau hadiah. Sebaliknya, apabila kita mengharapkan seseorang untuk tidak mengulangi respons yang diberikan, maka harus diberi sesuatu yang tidak menyenangkannya contohnya dengan memberi hukuman. Di samping hukum-hukum belajar yang telah dikemukakan di atas, konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan transfer of training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang sudah dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan mendatang. Dalam konteks pembelajaran, konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting, sebab seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang dipelajari tidak akan bermakna. Oleh karena itu, apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah harus berguna dan dapat digunakan di luar sekolah. Misalnya, anak belajar membaca, maka keterampilan membaca dapat digunakan untuk membaca apapun di luar sekolah , walaupun disekolah tidak diajarkan bagaimana membaca koran tapi karena huruf-huruf yang diajarkan di sekolah sama dengan huruf yang ada dalam koran, maka keterampilan membaca di sekolah dapat ditransfer untuk membaca koran, untuk membaca majalah, atau membaca apapun. (Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan – Kencana Prenada Media, 2011: 115, 116, 117)

 DAFTAR PUSTAKA 
Suprijono, Agus. (2011). Cooperatif Learning Teori & Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prof. Dr. H. Sanjana, Wina, M.Pd. (2011). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar